Senin, 11 Januari 2010

Geotermal Perlu Insentif



Jimbaran-Pengembangan geotermal atau panas bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik memerlukan insentif agar bisa bersaing dengan batu bara.

Salah satu bentuk insentif yang mungkin diberikan adalah pemerintah menanggung selisih biaya pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batu bara dan geotermal sebesar 0,7 sen dolar per kilowatt hour (KWH).
”Selisih 0,7 sen dolar bisa ditanggung pemerintah, atau bisa dibantu dengan cara carbon credit. Tapi bukan berarti tertutup kemungkinan ditanggung pemerintah,” kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Muhammad Lutfi di sela-sela High Level Event on Cilmate Change—Finance Ministers, Senin (10/12). Pertemuan itu dihadiri 47 menteri keuangan dan pimpinan lembaga internasional.
Biaya yang diperlukan untuk memproduksi 1 KWH dengan bahan bakar geotermal memang lebih mahal dibandingkan biaya yang dikeluarkan jika bahan bakar yang digunakan batu bara. Rinciannya, ujar Lutfi, setiap KWH dengan batu bara memerlukan biaya US$ 4,3 sen. Sedangkan, biaya untuk geotermal mencapai US$ 5 sen.
Keuntungan yang bisa dipetik juga lebih besar. ”Kita tahu bahwa geotermal lebih mahal tapi pasti lebih bersih. Emisi gas buangnya praktis nol,” jelas Lutfi.
Kemungkinan lain agar geotermal mampu bersaing dengan batu bara adalah melalui skema carbon trading. Yakni, pemberian imbalan kepada perusahaan yang ikut menurunkan emisi gas buang yang dapat menyebabkan pemanasan global.

Tiga Isu
Lebih lanjut Lutfi mengatakan, dengan adanya insentif, pengembangan sumber energi yang lebih ramah lingkungan dapat diwujudkan. ”Ada tiga isu yang mesti kembangkan supaya kita mempunyai tanggung jawab ke depan dengan baik, yakni pemerintah mengadopsi biaya,” ujarnya.
Sedangkan, isu lainnya adalah intervensi pemerintah berupa mandat agar pengembangan sumber energi terbarukan dapat berjalan. Ia mencontohkan, kebijakan Eropa agar biofuel mencapai 20 persen dari konsumsi minyak di kawasan tersebut. Pemerintah bisa mencontoh Eropa dengan mengeluarkan mandat mengenai pengembangan geotermal. Apalagi cadangan yang dimiliki Indonesia cukup besar.
Lalu, pemerintah melakukan mediasi untuk carbon trading. Dengan begitu, setiap perusahaan tak lagi menjalankan bisnis seperti biasanya.
”Dengan adanya carbon trading, orang tertarik untuk membuat industri ramah lingkungan. Ini juga penting, ini juga perlu intervensi pemerintah,” tegas Lutfi.
Kapasitas pembangkit listrik di Indonesia yang menggunakan geotermal saat ini sudah mencapai 500 MW. Angka ini berasal dari pembangkit listrik Drajad, Wayang Windu, Patuha, dan Dieng. ”Mestinya dengan adanya keterbukaan seperti ini, kita bisa membangun setidaknya 4.000 MW yang akan datang,” kata Lutfi.
Salah satu proyek yang sudah mulai jalan adalah proyek Sarula, Sumatera Utara. Lutfi mengatakan, sudah ada investor baru dari Jepang, dengan investasi kurang dari US$ 5 sen per KWH. Kapasitas Sarula mencapai 400 MW.n

0 komentar: