Rabu, 20 Januari 2010

ITB, Pertambangan Dan Perminyakan Indonesia


Patra ITB

Pendidikan tinggi teknik di Kota Bandung dimulai pada tahun 1920 dengan dibukanya program pendidikan Bagian Teknik Sipil pada Technische Hoogeschool (TH) yang pada tahun 1940-an sempat dikelola oleh Pemerintah Jepang dan menjadi Kogyo Daigaku. Kemudian setelah Perang Dunia II usai, yaitu pada tahun 1946, di Bandung dibentuk Fakultet Pengetahuan Teknik (Faculteit van Technische Wetenschappen) dan, pada tahun 1947, dibentuk Fakultet Ilmu Pasti dan Ilmu Alam, FIPIA, (Faculteit van Wis en Natuurkunde) yang merupakan bagian dari Universitet Indonesia (Universiteit van Indonesia), UI sekarang, yang berkedudukan di Jakarta. Menyusul setelah itu, yaitu pada tahun 1948 dibuka beberapa jurusan baru dalam FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik antara lain Bagian Geologi yang kemudian dikelola oleh Prof. Dr. Th. H. F. Klompe (mulai tahun 1950) dan Bagian Tambang yang kemudian dikelola oleh Prof. Ir. M. E. Akkersdijk (mulai tahun 1951) dengan staf pengajar antara lain Ir. J. C. Klinkert, Ir. M. Wiesner, dan Prof. Ir. C. A. Fermin.

Sejak tahun 1953, pada Bagian Tambang dibentuk Jurusan Eksplorasi dan Jurusan Tambang Umum. Di dalam Jurusan Tambang Umum kemudian diadakan tiga sub-jurusan yaitu Tambang Umum, Konsentrasi, dan Tambang Minyak. Perbedaan pada kedua jurusan tersebut hanya pada tahun terakhirnya saja, yaitu dengan memberikan mata kuliah khusus untuk masing-masing jurusan maupun sub-jurusan.

Sementara itu, pada tahun 1957, pelaksanaan pendidikan melalui FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik UI agak terganggu karena pemerintah hendak mendirikan sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung (Universitas Padjadjaran, Unpad, sekarang). Pada waktu itu, Pemerintah RI memang sedang mencanangkan program untuk mendirikan perguruan tinggi negeri di setiap propinsi di Indonesia. Di kalangan internal sendiri timbul gejolak dimana sebagian ada yang menyatakan setuju bahwa FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik UI digabung dengan perguruan tinggi yang akan didirikan tersebut, sedangkan sebagian yang lain menyatakan tidak setuju dengan penggabungan kedua fakultas UI di Bandung itu ke dalam perguruan tinggi tersebut. Terlepas dari keadaan itu, akhirnya pada tanggal 2 Maret 1959 terbentuklah Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui surat keputusan pemerintah.

Pada tahun 1961, Bagian Tambang dan Bagian Geologi berada dalam satu departemen yang disebut dengan Departemen Teknologi Mineral (DTM). Pada tahun 1962, sub-jurusan Tambang Minyak ditingkatkan menjadi Bagian Teknik Perminyakan. Selanjutnya, dalam kurun tahun 1963Â 1984 terjadi dua kali perubahan organisasi di ITB. Pada tahun 1973, ketiga bagian dalam DTM digabung dengan Bagian Mesin, Elektro, Fisika Teknik, dan Kimia Teknik dalam satu wadah yaitu Fakultas Teknologi Industri (FTI) dan sebutan Bagian diganti menjadi sebutan Departemen. Penggabungan dalam FTI berlangsung sampai tahun 1984. Pada tahun tersebut, dilakukan reorganisasi kembali dimana Departemen Tambang, Geologi, dan Teknik Perminyakan digabung dalam Fakultas Teknologi Mineral (FTM) sebagai Jurusan Teknik Pertambangan, Teknik Geologi, dan Teknik Perminyakan. Kemudian, pada tahun 1998, FTM diubah menjadi Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 208-0/1998 tanggal 25 Agustus 1998. Dalam keputusan tersebut Jurusan Geofisika dan Meteorologi yang semula berada dalam Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) digabung di bawah naungan FIKTM. Selanjutnya, sebutan Jurusan di lingkungan ITB kembali diubah menjadi sebutan Departemen berdasarkan Surat Keputusan Rektor ITB No. 034/SK/K01/OT/2001 tanggal 23 April 2001.

Perkembangan Awal Pendidikan Perminyakan.

Sekitar tahun 1951 telah ada pendidikan menengah di dunia perminyakan Indonesia, yang dirintis oleh salah satu perusahaan asing di Indonesia yakni BPM Shell (Belanda) di Prabumulih, Sumatera Selatan, yang bernama Middlebarrel Petroleum School (MPS). MPS menerima peserta didik yang berasal dari para lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). MPS kemudian diganti namanya menjadi Pendidikan Ahli Minyak (PAM) yang menerima para lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Para lulusan dari PAM, setelah mereka bekerja di industri perminyakan selama kurang lebih 2-3 tahun, ada yang kembali disekolahkan ke Fakultet Pengetahuan Teknik UI Bagian Tambang untuk studi lanjutan. Salah seorang lulusan tersebut adalah A. K. Sujoso.

Berawal dari sana timbul pemikiran untuk mendirikan pendidikan tinggi perminyakan di Fakultet Pengetahuan Teknik UI (Dekan Fakultet Pengetahuan Teknik UI pada waktu itu, Prof. Ir. Soetedjo, merangkap sebagai Ketua Bagian Tambang sampai dengan awal tahun 1960). Tetapi gagasan tersebut dianggap terlalu mengada-ada dan bersifat pesimistik oleh beberapa kalangan. Kalangan tersebut menilai bahwa pendidikan sarjana teknik perminyakan tidak prospektif, karena produksi minyak Indonesia pada waktu itu hanya berkisar antara 150.000 – 200.000 BOPD. Bahkan ada kalangan tertentu yang menganggap bahwa di daerah lepas pantai sekalipun, yang daerahnya lebih luas dari daratan, tidak terdapat minyak bumi.
Pendidikan Tinggi Perminyakan di Fakultet Pengetahuan Teknik UI

Pada tahun 1956, berkenaan dengan situasi politik pada saat itu, orang-orang Belanda mulai meninggalkan Indonesia, yang berarti pula sebagian staf pengajar/dosen di FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik UI yang berkebangsaan Belanda juga meninggalkan Indonesia. Beruntung saat itu, telah dilakukan kontrak kerjasama dengan pihak Amerika, dalam hal ini University of Kentucky, melalui badan bantuan Amerika Serikat, USAID. Tujuan kerjasama ini adalah untuk membantu mengembangkan staf pengajar FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik UI. Pada waktu itu, banyak staf dosen FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik UI dikirim ke Amerika Serikat untuk studi lanjutan. Diantara yang dikirim tugas belajar tersebut berasal dari Bagian Tambang, yaitu Loekito Reksosoemitro (Colorado School of Mines), Azhari Warga Dalam (University of Missouri), dan Hadiyanto Martosubroto (Colorado School of Mines), serta belakangan R.P. Koesoemadinata dan Rubini Suriaatmadja dari Bagian Geologi.

Sementara itu, University of Kentucky Contract Team juga mengirimkan para profesornya ke FIPIA dan Fakultet Pengetahuan Teknik UI untuk mengajar di Bagian Tambang (termasuk bidang teknik perminyakan sebagai opsi di Bagian Tambang). Diantara yang dikirim tersebut adalah Prof. P. C. Emrath, Prof. Ch. D. Hoyt, Prof. Ch. S. Bacon, Prof. H. F. McFarland, dan Prof. Harold L. Overton serta Prof. Robert L. Slobod yang mengajar ilmu teknik perminyakan. Karena University of Kentucky tidak begitu baik dalam bidang teknik perminyakan, maka para profesor yang dikirim tersebut tidak semuanya berasal dari universitas tersebut bahkan tidak semuanya dari kalangan universitas atau akademisi. Prof. Overton, misalnya, yang datang ke Indonesia pada tahun 1960, berasal dari University of Houston, sedangkan Prof. Slobod berasal dari Pennsylvania State University.

Setelah itu, pada akhir tahun 1950-an, sudah banyak lulusan Bagian Tambang yang mengambil studi pengutamaan teknik perminyakan, yaitu antara lain Trisulo Djokopurnomo (lulusan pertama tahun 1956 dari Bagian Tambang yang kemudian menjadi Direktur E&P Pertamina), Lumiadji Purbodiningrat, Sudiono, D. Zahar, E. E. Hantoro, R. O. Hutapea, A. K. Sujoso, Azir Hamid, dan Arifin Sumitramihardja.

Seperti disebutkan di atas, pada tahun 1957- 1958, terjadi gejolak politik dimana Presiden Soekarno pada waktu itu mengusir orang-orang Belanda, sehingga terjadi nasionalisasi di seluruh lembaga, baik pendidikan maupun industri yang ada di Indonesia. Bersamaan dengan itu, pada akhir tahun 1957 ketiga orang yang telah dikirim ke Amerika dari Bagian Tambang, yaitu Loekito Reksosoemitro, Azhari Warga Dalam, dan Hadiyanto Martosubroto, pulang ke Indonesia setelah mereka menyelesaikan program pendidikannya. Mereka kemudian merekrut calon-calon sarjana baru diantaranya Grufron Achmad dan Madjedi Hasan untuk dipersiapkan menjadi dosen seiring dengan rencana pendirian Bagian Teknik Perminyakan di bawah Departemen Teknologi Mineral (DTM). Rencana tersebut termasuk persiapan kurikulum teknik perminyakan. Ketua Bagian Tambang pada saat itu adalah Prof. Soetedjo (yang kemudian diganti oleh Hadiyanto Martosubroto pada tahun 1961) dan Sekretarisnya adalah Azhari Warga Dalam dan Komardi. Selanjutnya, upaya pemulihan pengajaran mata kuliah teknik perminyakan mulai dirintis kembali oleh Sekretaris Bagian Tambang melalui rekruitmen calon dosen dan kedatangan dosen tamu dari Amerika Serikat setelah ditandatanganinya kerjasama dengan University of Kentucky. Dua orang mahasiswa tingkat akhir tersebut di atas, yaitu Grufron Achmad dan Madjedi Hasan, kemudian terpilih untuk mengikuti program pascasarjana di University of Oklahoma dan berangkat ke Amerika pada tahun 1959, melalui program kerjasama dengan University of Kentucky. Bersamaan dengan itu, proses administrasi untuk mendirikan Bagian Teknik Perminyakan diajukan kepada ITB setelah ITB berdiri, yakni pada tanggal 2 Maret 1959, melalui DTM.

Seperti telah dinyatakan di atas, dengan adanya kerjasama dengan Amerika melalui USAID, University of Kentucky Contract Team telah mengirimkan Prof. Harold Overton ke ITB pada tahun 1960. Dengan demikian, sejak kepergian dosen-dosen berkebangsaan Belanda, kuliah teknik perminyakan dimulai lagi dengan kedatangan Prof. Overton tersebut. Prof. Overton merupakan orang yang mempunyai peran penting dalam perkembangan opsi Tambang Minyak di Bagian Tambang menjadi Bagian Teknik Perminyakan nantinya. Ia yang pada tahun 1961 menyusun kurikulum penuh program studi teknik perminyakan dan melakukan persiapan pembukaan bagian baru di lingkungan DTM. Ia yang memulai kembali, setelah orang-orang Belanda pulang ke negerinya, mengajarkan mata kuliah ilmu teknik perminyakan di Bagian Tambang. Ia yang pertama kali mendirikan laboratorium teknik perminyakan dengan mendapatkan peralatan dari beberapa perusahaan asing pada waktu itu, diantaranya Shell, Caltex, dan Stanvac, disamping ia juga mengembangkan laboratorium dari peralatan-peralatan bekas dan/atau rongsokan.

Bidang penelitian yang dikembangkan oleh Prof. Overton pada waktu itu adalah lumpur pemboran (ia mengembangkan laboratorium lumpur pemboran). Sebagian dari hasil penelitiannya bahkan sempat dipublikasikan melalui Journal of Petroleum Technology dan diajarkan. Beberapa mahasiswa yang sempat mengambil kuliah dari Prof. Overton adalah R.P. Koesoemadinata dan Sofjan Bahauddin. Kuliah-kuliah teknik perminyakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah mahasiswa Bagian Tambang yang telah menyelesaikan tahap Sarjana Muda dan tahap Sarjana Satu, antara lain Sembodo, Bambang Sumantri, Iman Soengkowo, Purwanto Mardisewojo, Bady Utomo, Mudjihartomo, Eddy Sudiarto, Mundji Rustandi, Djohan Waldy, Trisunu Sudewo Embat, Syaiful Rachman Abas, dan Saleh Azis.

Sementara itu, karena sangat dibutuhkan tenaganya sebagai staf pengajar, salah satu yang berangkat tugas belajar atas kerjasama dengan University of Kentucky pada tahun 1959, yaitu Grufron Achmad kemudian dipanggil pulang dari Amerika pada tahun 1960 (hanya setahun di Amerika sehingga belum sempat menyelesaikan program masternya). Pada tahun itu pula, ia bersama-sama dengan J. C. Kana, yang baru menyelesaikan pendidikannya di ITB dan bergabung menjadi dosen, kemudian ikut merencanakan proses pembentukan Bagian Teknik Perminyakan di ITB. Disamping itu, mereka juga turut serta dalam persiapan pendirian LGPN (Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional) dalam Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI).

Setelah kurikulum penuh bagian teknik perminyakan disusun oleh Prof. Overton bersama-sama dengan Grufron Achmad dan Madjedi Hasan (yang baru kembali setelah menyelesaikan program masternya di University of Oklahoma pada tahun 1961), mulailah babak baru pendidikan teknik perminyakan di ITB. Sementara itu, pada tahun itu juga jumlah dosen bertambah dengan bergabungnya staf dosen Bagian Tambang menjadi dosen di Bagian Teknik Perminyakan, yaitu Rochadi Gapar (lulus Bagian Tambang pada tahun 1961) dan Sofjan Bahauddin.

Selanjutnya, Bagian Teknik Perminyakan yang berpisah dari Bagian Tambang di dalam lingkungan Departemen Teknologi Mineral diresmikan pada bulan September 1962 dan mulai menerima mahasiswa pada tahun ajaran 1962/1963. Peresmian tersebut berdasarkan persetujuan Senat dan Keputusan Rektor ITB waktu itu, yaitu Prof. R. O. Kosasih. Ketua dan Sekretaris Bagian kemudian dijabat masing-masing oleh Grufron Achmad dan Madjedi Hasan. Pada waktu peresmian tersebut, J.C. Kana sedang berada di Amerika Serikat (berangkat pada awal tahun 1962) untuk melanjutkan studi di University of Oklahoma. Grufron kemudian mengirim berita kepada J.C. Kana melalui surat bahwa Bagian Teknik Perminyakan telah terbentuk. Sementara itu, Prof. Overton mengumumkan berdirinya Bagian Teknik Perminyakan di ITB melalui Journal of Petroleum Technology Edisi Februari 1963.

Pendirian Bagian Teknik Perminyakan di ITB mendapat dukungan penuh dari perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia saat itu (misalnya Permina, Permindo, Caltex, Stanvac, dan Shell) dan University of Kentucky serta LIPI dan UNDP (United Nation Development Program). Dukungan tersebut berupa kesempatan untuk melaksanakan kerja praktek dan tugas akhir, sumbangan peralatan laboratorium dan berbagai text book, serta beasiswa. Lembaga Geologi Pertambangan (LIPI) bahkan menyediakan dana untuk riset, sedangkan Caltex memberikan educational assistance grant untuk para dosen teknik perminyakan.

Pada awalnya, penerimaan mahasiswa dilakukan secara bertahap. Dimulai dengan menerima mahasiswa Bagian Teknik Perminyakan sebagai Sub Bagian (opsi) pada Bagian Tambang, yaitu pada Tingkat IIIÂ yang nantinya akan lulus sebagai sarjana teknik perminyakan, sampai kemudian menerima mahasiswa penuh sebagai mahasiswa Bagian Teknik Perminyakan pada waktu setelah terbentuknya Bagian Teknik Perminyakan. Pada waktu itu, mahasiswa yang mengambil opsi Bagian Teknik Perminyakan terdapat sekitar 10- 15 orang. Salah seorang mahasiswa tersebut adalah Purwanto Mardisewojo. Hal itu dimungkinkan karena ada beberapa mata kuliah dasar yang sama, seperti Fisika, Kalkulus, dan Kimia. Selanjutnya, seperti disebutkan di atas, kurikulum teknik perminyakan diterapkan secara penuh sejak Tahun Akademik 1962/1963 dan mulai menerima mahasiswa yang berasal dari sekolah menengah atas atau yang setingkat dari seluruh Indonesia. Diantara mahasiswa pertama yang menyelesaikan pendidikannya dengan kurikulum penuh Bagian Teknik Perminyakan adalah Priyambodo Mulyosudirjo, R. Sumantri, July Usman, Iswara Hidayat dan Nazar Mahmud sebagai Angkatan 1960, lalu Sungarna Sukandar dan Rivai Hamzah sebagai Angkatan 1961, Supomo M. Atmodjo, Baihaki Hakim, Noto Sudjono, dan lain-lain sebagai Angkatan 1962. Sementara itu, mata kuliah teknik perminyakan juga mulai diberikan di Akademi Pembangunan Veteran(sekarang UPN Veteran) Yogyakarta dan Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta oleh Madjedi Hasan.

Pada tahun 1963, Prof. Harold Overton digantikan oleh Prof. Robert Slobod. Sementara itu, jumlah dosen Bagian Teknik Perminyakan bertambah lagi dengan bergabungnya Iman Soengkowo dan Purwanto Mardisewojo setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di ITB (lulus dari Bagian Teknik Perminyakan masing-masing tahun 1963 dan 1964). Pada tahun itu juga, Iman Soengkowo dan Sofjan Bahauddin mendapat tugas belajar masing-masing ke University of Texas at Austin dan University of California. Pada saat yang sama pula, Akademi Perminyakan Permina (APP) didirikan di Bandung oleh Permina, yang menjadi cikal bakal Akademi Minyak dan Gas Bumi (Akamigas) di Cepu (dipindahkan tahun 1967/1968). Staf pengajarnya adalah dosen-dosen dari Bagian Teknik Perminyakan ITB diantaranya Madjedi Hasan, Grufron Achmad, Purwanto Mardisewojo, dan Sofjan Bahauddin.

Pada tahun 1963 pula, tepatnya pada tanggal 24 Desember 1963, Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan (HMTM), yang kemudian bernama HMTM Patra, didirikan dengan kepengurusan pertama antara lain Nazar Machmud, Eddy Sudiarto, dan Rivai Hamzah.

Departemen Teknik Perminyakan ITB dan Industri Perminyakan Indonesia

Sejak berdirinya, Bagian Teknik Perminyakan ITB telah mengadakan beberapa kerjasama dengan industri perminyakan di Indonesia, diantaranya dengan Permina di bidang pendidikan pada tahun 1963 yakni dengan mendirikan Akademi Perminyakan Permina di Bandung. Hubungan baik ini terjalin berkat kerjasama yang dirintis oleh Dirut Permina Ibnu Sutowo, dengan tujuan untuk menguasai industri perminyakan di Indonesia. Setelah 4 (empat) tahun akademi tersebut dipindahkan ke Cepu dengan nama Akamigas.

Pada awal dekade tahun 1950-an, ilmu geologi, gas bumi dan teknologi perminyakan Indonesia masih terbatas. Di sisi lain, hampir semua pekerjaan harus dilakukan secara manual. Pada waktu itu, dengan bantuan Pertamina, ITB merupakan lembaga pendidikan tinggi yang pertamakali memiliki komputer mainframe di Indonesia.

Selanjutnya, hubungan Departemen Teknik Perminyakan ITB dengan industri juga tercermin dari fasilitas Gedung Departemen Teknik Perminyakan yang dibangun pada tahun 1962 atas bantuan dari LIPI dan Pertamina. Gedung ini kemudian dikembangkan dan direnovasi menjadi Labtek IV yang dibangun oleh ITB untuk dipakai bersama-sama dengan Departemen Teknik Geologi dan Departemen Teknik Pertambangan.

Pada tahun 1969, Departemen Teknik Perminyakan ITB mengadakan Simposium Perminyakan I di Indonesia dengan bantuan dari Pertamina. Simposium ini dihadiri oleh seluruh kalangan industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Simposium ini meletakkan pemikiran dasar industri minyak dan gas bumi di Indonesia untuk mengadakan pertemuan ilmiah secara periodik. Dalam perjalanan waktu, pertemuan periodik tersebut ternyata sulit terlaksana karena tampaknya banyak hal yang berkaitan dalam lingkup ini yang membelah visi dan interest, yaitu kalangan politisi dan pemerintahan di satu sisi dan kalangan pebisnis dan investor asing di sisi lain. Tidak heran kalau pada tahun 1971 kemudian dibentuk Indonesian Petroleum Association (IPA) yang dimotori oleh Ibnu Sutowo, Trisulo, dan Julius Tahija dengan sasaran utama sebagai forum bagi pebisnis untuk melobi kalangan pemerintahan dan politisi. Departemen Teknik Perminyakan ITB aktif sebagai associate member dalam IPA. Lebih dari itu, pada awal pembentukan IPA, Rochadi Gapar pernah bertindak sebagai pembicara dalam seminar sehari tentang industri migas Indonesia. Selanjutnya, produk dari IPA yang cakupannya lebih luas dan menyangkut professionalisme akhirnya terbentuk juga dengan penyelenggaraan pertemuan ilmiah tahunan yang dikenal dengan IPA Annual Convention sampai sekarang.

Dari simposium perminyakan di atas kemudian terjalin hubungan kerja sama antara Departemen Teknik Perminyakan ITB dengan industri minyak dan gas bumi di Indonesia dalam hal kerjasama pendidikan melalui beasiswa studi di dalam maupun di luar negeri. Dalam hal kerjasama dengan industri tersebut, Departemen Teknik Perminyakan ITB telah menjembatani hal-hal yang kurang serasi dalam penyaluran sumber daya manusia (SDM) profesional ke dalam industri minyak dan gas bumi dan industri penunjangnya. Kerjasama melalui lembaga-lembaga di ITB seperti (dahulu) Lembaga Penelitian (LP), Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM), dan Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) juga dilakukan, misalnya dalam bentuk-bentuk pelatihan.

Pada tahun 1978, tercetus ide untuk membentuk suatu organisasi sebagai wadah komunikasi untuk para ahli teknik perminyakan Indonesia. Departemen Teknik Perminyakan ITB berperan besar dalam pembentukan organisasi yang kemudian disebut dengan Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) tersebut. Sebenarnya, ide pembentukan IATMI tersebut tercetus dalam pertemuan alumni Departemen Teknik Perminyakan ITB pada tahun 1978 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan (HMTM) Patra ITB. Dalam pertemuan tersebut dilontarkan pendapat bahwa sudah waktunya mempunyai sebuah organisasi para ahli teknik perminyakan Indonesia. Waktu itu memang dirasakan bahwa tidak ada wadah yang tepat yang dapat menampung kebutuhan tersebut. Ide ini disambut baik oleh para alumni dan men­dapat dukungan dari para mahasiswa Teknik Per­minyakan ITB.

Dalam pertemuan alumni Departemen Teknik Perminyakan pada tanggal 24 Maret 1979 dalam rangka memperingati Lustrum IV ITB, keinginan untuk membentuk organi­sasi tersebut mendapat dukungan yang lebih kuat lagi yang dibuktikan dengan hasil angket yang telah disebarluaskan sebelumnya. Bermula dari pertemuan itulah, kemu­dian dibentuk suatu panitia persiapan pembentukan organisasi yang dipercayakan kepada para staf pengajar/dosen dari Departemen Teknik Perminyakan ITB dan task force dari HMTM Patra ITB. Tugas utama panitia tersebut adalah membuat rancangan Anggaran Dasar Organisasi. Puncak dari persiapan pembentukan organi­sasi ini adalah pertemuan yang diadakan pada tanggal 7 Juni 1979 di Wisma Prapanca Le­migas di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah Ahli Teknik Perminyakan di Indonesia yang secara bulat menyetujui dibentuknya organisasi Ahli Teknik Permiyakan Indonesia.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

How to register and play at online casinos with LuckyClub.live
Lucky Club has over 100 카지노사이트luckclub games from its classic table game. It has a huge online selection with many different themes, such as blackjack,